Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 09 April 2014

PERJALANAN KE BARAT


PERJALANAN KE BARAT



Siapa pun pasti mengenal sosok biksu yang dikenal sebagai Tang San Zang /Tong Sam Cong. Bhikshu dengan nama asli Xuan Zang (Hsuan Tsang) ini terkenal sebagai guru dari siluman kera sakti Sun Wu Kong (Sun Go Kong) dalam kisah Perjalanan ke Barat karya Wu Cheng En (di Indonesia telah ditayangkan filmnya dengan judul Kera Sakti).

Namun sesungguhnya kisah asli perjalanan ke India yang dilakukan oleh Xuan Zang untuk mencari kitab suci dalam sejarah lebih dari sekedar khayalan penulis novel.

Xuan Zang benar-benar pernah hidup di China dan mengadakan perjalanan ke barat, namun tanpa disertai para muridnya yang merupakan siluman atau titisan dewa, melainkan seorang diri bahkan tanpa seizin kaisar Tang.

Oleh sebab itu, di sini akan dibahas tentang kisah hidup Xuan Zang dan perjalanannya ke India sesuai dengan catatan sejarah beserta sedikit uraian tentang ajaran beliau.

MASA-MASA AWAL

Sekitar tahun 600 M di desa Chen He di Provinsi Henan saat cuaca dingin dan kering, Chen Yi dilahirkan. Tidak ada yang menyangka anak bungsu keluarga Chen tersebut akan tumbuh menjadi seorang cendikiawan dan peziarah Buddhis yang ternama, Xuan Zang.

Keluarga Chen secara turun-temurun menghasilkan pejabat dan sarjana Confusius. Chen Yi juga diharapkan agar dapat mengikuti jejak leluhurnya. Untungnya, ayahnya Chen Hui sangat tertarik dalam ajaran Buddha dan mempelajari kedua ajaran ini di rumah.

Ini banyak mempengaruhi Chen Yi kecil, dan ketika kakak keduanya menjadi bhikshu di vihara Jing Tu, ia juga pergi ke sana untuk mempelajari dan menjalankan ajaran Buddha. Pada tahun yang sama, ketika baru berusia 6 tahun, ia menjadi seorang samanera.

Biasanya, hanya anak kecil yang telah berusia paling kurang 7 tahun yang diizinkan untuk ditahbiskan sebagai samanera. Namun, Chen Yi dapat menyelesaikan ujian yang sulit dengan tepat dan oleh sebabnya ditahbiskan dalam Sangha sebagai pengecualian, dengan memakai nama Buddhis "Xuan Zang".

Ia mempelajari ajaran Theravada dan Mahayana di vihara Jing Tu dan menunjukkan kecenderungan pada ajaran Mahayana. Sejak usia belia, kecerdasan Xuan Zang yang luar biasa terlihat. Hanya dengan mendengar uraian pada suatu sutra satu kali saja dan mempelajarinya sendiri pada waktu lain, ia dapat mengingat keseluruhan sutra tersebut.

Ini luar biasa karena biasanya suatu sutra mengandung jutaan kata. Para bhikshu lainnya memujinya sebagai jenius. Saat ayahnya meninggal pada tahun 611 M, ia dan kakaknya terus mendalami ajaran Buddha di vihara Jing Tu sampai ketidakstabilan politik memaksa mereka untuk mengungsi ke kota Changan (sekarang Xi An).


Setelah itu, ia pergi ke Chengdu di Provinsi Sichuan untuk mendalami lebih lanjut ajaran Buddha yang membuatnya bertambah pengetahuan dan berkembang nama baiknya. Pada usia 20 tahun, Xuan Zang ditahbiskan sebagai bhikshu.

Semakin banyak Xuan Zang belajar semakin ia tidak puas dengan kualitas kitab-kitab Buddhis yang ada. Terdapat banyak terjemahan yang berbeda atas suatu sutra, kebanyakan bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena penerjemahan kitab Buddhis tersebut kebanyakan dilakukan oleh para bhikshu luar dari India atau negeri lainnya.

Halangan keterbatasan bahasa merintangi terjemahan yang akurat, ditambah lagi masing-masing penerjemah memiliki pengertian yang berbeda atas kitab aslinya, yang cukup sulit dipahami. Perbedaan aliran dalam agama Buddha juga memperumit proses penerjemahan karena pengikut masing-masing pengikut memiliki pandangan yang berbeda atas ajaran Buddha, yang sering diperdebatkan oleh pengikut aliran lain.

Sesungguhnya pada awal abad ke-7 M Cina telah menjadi "medan pertempuran" antara para pengikut aliran Yogacara, yaitu antara ajaran Yogacara berdasarkan karya Asanga dan ajaran yang sama berdasarkan karya Vasubandhu.

Xuan Zang berpikir perdebatan antara keduanya disebabkan oleh tidak tersedianya kitab-kitab penting aliran Yogacara dalam bahasa Cina. Jika Yogacarabhumi-sastra, kitab yang menjelaskan tahapan dalam Yogacara untuk mencapai Pencerahan yang ditulis oleh Asanga tersedia dalam bahasa Cina, ia pikir ini dapat menyelesaikan semua perdebatan ini.




Pada abad ke-6 M bhikshu India bernama Pamartha telah menerjemahkan sebagian isi kitab ini. Namun Xuan Zang bertekad untuk mendapatkan versi lengkap kitab ini langsung dari tanah kelahiran Buddha, India.

Semua ini membawa Xuan Zang pada kesimpulan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, ia harus pergi ke barat untuk mendapatkan kitab suci asli agama Buddha.

Seakan-akan karma baik Xuan Zang berbuah, seorang murid dari bhikshu kepala Silabhadra yang merupakan pemimpin dan bhikshu tertinggi dari Universitas Nalanda tiba di Changan melalui perjalanan laut.

Ketika sang murid mengetahui bahwa Xuan Zang sedang merencanakan perjalanan ke India, ia mengatakan: "Untuk memahami makna sesungguhnya dari kitab-kitab suci, kamu harus pergi ke Universitas Nalanda dan belajar di bawah bhikshu Silabhadra."

Demikianlah, Xuang Zang menetapkan tujuan perjalanannya ke Universitas Nalanda yang tak lain adalah vihara Halilintar di surga Barat dalam kisah rekaan Perjalanan ke Barat.

PERJALANAN KE BARAT (INDIA)

Peta rute perjalanan yang ditempuh oleh Xuan Zang Fa Shi.
Pada tahun 629 Xuan Zang memulai perjalanan bersejarahnya. Saat itu Kaisar Tang Zhen Guan baru naik tahta 3 tahun. Bangsa Gokturks (Turki Timur) terus-menerus menyerang perbatasan barat Cina, oleh sebab itu pemerintah menutup jalan menuju barat, melarang siapa pun kecuali para pedagang dan orang asing melakukan perjalanan ke arah tersebut.

Pada waktu itu Xuan Zang dan beberapa bhikshu lain dengan tujuan yang sama mengajukan permohonan izin untuk melewati perbatasan (yang disebut "guo shuo" atau paspor) kepada pemerintah, tetapi ditolak.

Para bhikshu lainnya menyerah, namun Xuan Zang memutuskan untuk secara diam-diam keluar dari Changan. Dalam perjalanan ia dihentikan di Liang Zhou karena ia tidak punya paspor. Seorang kepala bhikshu menolongnya meloloskan diri. Ia mengendarai kudanya siang dan malam hingga akhirnya sampai di Gua Zhuo.

Pada saat yang sama titah pemerintah yang memerintahkan penangkapannya juga sampai di sana. Untungnya, para pejabat di sana yang adalah seorang umat Buddha yang taat menunda titah tersebut dan melepaskan Xuan Zang.

Walaupun berhasil lolos dari tangkapan pemerintah, bahaya sebenarnya masih menanti Xuan Zang. Tidak seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat di mana bahaya tersebut datang dari para siluman yang hendak membunuh dan memakan dagingnya, bahaya yang dihadapi Xuan Zang lebih "membumi", tetapi tak kalah mematikannya.

Setelah melewati Gansu, Lanzhou, dan Dunhuang di akhir Tembok Besar, ia mengambl jalan ke cabang utara Jalur Sutra melewati Yu Men Guan untuk menuju ke Gurun Gobi, bahaya pertama yang akan ia hadapi.

Gurun Gobi yang luas dan kering dengan suhu yang ekstrem, panas menyengat di siang hari dan dingin membeku di malam hari, merupakan hal yang mematikan bagi penjelajahnya ditambah lagi dengan tipisnya persediaan air, makanan, dan tempat berlindung.

Saat Xuan Zang memacu kudanya ke gurun tersebut , ia melihat tulang belulang manusia, sisa-sisa para penjelajah yang tersesat dan menemui ajalnya di tengah-tengah hamparan pasir tersebut.

Selain bahaya dari kondisi alam, terdapat juga lima menara jaga di Gurun Gobi. Para penjaga menara tersebut diperintahkan untuk memanahi dan membunuh para penjelajah tanpa paspor. Ketika Xuan Zang berusaha menyelinap, ia hampir terbunuh oleh tembakan anak panah.

Dalam upaya menghindari menara jaga tersebut, ia tersesat dan mengembara selama berhari-hari tanpa air dan makanan. Ia hampir tewas ketika tunggangannya, seekor kuda yang sering menjelajahi gurun, menariknya ke sebuah mata air yang dapat menyelamatkan hidupnya.
Tercatat dalam buku biografinya yang ditulis oleh para muridnya, pada malam kelima ketika Xuan Zang terbaring di atas pasir dan tidak dapat bergerak sama sekali, ia bermimpi seorang laki-laki tak dikenal dengan perawakan seperti raksasa mendatanginya dan menyuruhnya untuk bangun dan berjalan.

Setelah Xuan Zang dapat berdiri dengan kedua kakinya dan berkelana tanpa tujuan sampai jarak tertentu, kudanya tiba-tiba meringkik kesenangan dan berlari ke arah tertentu, yang membawanya ke sebuah mata air yang kemudian menyelamatkan hidup Xuan Zang. Tokoh Sha Wu Jing, murid ketiga Xuan Zang dalam kisah Perjalanan ke Barat yang ditulis Wu Cheng En diinspirasi dari mimpi Xuan Zang ini.

Setelah dapat lolos dari maut, Xuan Zang sampai di kota oasis Kumul dan mengikuti lembah Sungai Chu menuju Asia Tengah. Kemudian ia sampai di Turfan yang saat itu dikenal dengan nama Kerajaan Gao Chang.

Raja Turfan adalah seorang umat Buddha yang taat dan bermaksud untuk menjadikan Xuan Zang sebagai bhikshu kepala di negerinya. Gagal menahan Xuan Zang di negerinya, raja Turfan mengirim empat orang samanera dan dua puluh lima orang lainnya untuk melakukan perjalanan bersama Xuan Zang.

Setelah meninggalkan Turfan, Xuan Zang beserta rombongannya menuju Kara-shahr yang kemudian dilanjutkan ke Kucha. Kucha merupakan kota oasis yang terkenal dengan kuda-kudanya yang menakjubkan. Tanahnya subur dan sangat cocok untuk lahan pertanian. Di Kucha terdapat 100 buah vihara dengan lebih dari 5000 bhikshu Sarvastivadin.

Semua vihara tersebut dihiasi dengan patung-patung Buddha yang diparadekan pada hari-hari khusus dalam upacara pengusungan rupang. Raja Kucha menyelenggarakan perayaan lima tahunan yang sebelumnya telah dilakukan sejak zaman Raja Asoka di mana setiap lima tahun sekali pemberian dana besar-besaran dilakukan untuk Sangha.

Di luar pintu gerbang kota Xuan Zang melihat adanya dua buah patung Buddha setinggi 90 kaki dan di depannya dibangun tempat khusus untuk perayaan lima tahunan tersebut. Setelah tinggal di sana selama 2 bulan, ia melanjutkan perjalanan ke Aksu dan melintasi Gunung Ling.

Ketika melewati Gunung Ling yang banyak ditutupi gletser, sepertiga rombongan Xuan Zang tewas. Yang paling beruntung tewas seketika ketika mereka tertimpa bongkahan es yang berasal dari gletser yang pecah ditiup angin.

Yang lainnya tertimbun salju longsor. Beberapa lainnya, saat berjalan di jalan es yang berbahaya, kehilangan pijakan mereka dan terjatuh. Yang lainnya lagi tewas karena membeku. Beberapa jatuh ke dalam retakan gletser.

Namun dengan tekad yang kuat untuk sampai di India, Xuan Zang dapat melanjutkan perjalanannya menuju Pegunungan Tian Shan dan sampai di daerah Kirgistan melalui Celah Bedal.

Ia melewati pantai dari danau Issyk Kul di Kirgistan yang merupakan danau di atas pegunungan dengan ketinggian 5200 kaki dari permukaan laut dan danau terbesar di dunia seluas 6200 km persegi. Lalu melanjutkan perjalanan ke arah barat laut, ia melewati daerah danau Kyrgyz dari Myn-bulak, yang dikenal sebagai "Seribu Mata Air".

Berjalan ke arah barat ia melintasi kota Tartar dari bangsa Tara dan negeri Nujkend di ***al dan tiba di Tashkent di Uzbekistan Timur yang dikuasai oleh bangsa Hun.

Pemberhentian berikutnya adalah Samarkand, sebuah negeri yang berpenduduk padat yang terletak di pertemuan jalur perdagangan kuno Cina dan India. Kota ini merupakan pusat perdagangan di Jalur Sutra di mana para pedagang menukarkan barang dagangan mereka. Menurut Xuan Zang:

"Barang-barang dagang dari berbagai negeri disimpan di sini. Para penduduknya mahir dalam kesenian dan berdagang melebihi penduduk negeri lain. Orang-orang di sini pemberani dan bersemangat tinggi serta dicontoh oleh orang-orang negeri sekitar dalam hal keramah-tamahan dan sopan santunnya."

Dari Samarkand sang peziarah melanjutkan ke Kesh (Karshi) dan berjalan ke selatan memasuki daerah pegunungan. Setelah mendaki jalan yang curam dan terjal, ia sampai di Gerbang Besi, sebuah celah pegunungan yang batas kiri kanannya terdapat dinding tinggi berbatu yang berwarna seperti besi.

Di sini pintu kayu ganda telah dibuat dan banyak lonceng dipasang di sana. Pintu-pintu ini dikuatkan dengan besi dan tahan serangan. Karena perlindungan yang diberikan pada celah tersebut ketika pintu-pintu ini ditutup, celah ini disebut Gerbang Besi.

Kemudian ia sampai di Tukhara, sebuah negeri yang dikuasai bangsa Turki, dan menyeberangi sungai Oxus (Amur Darya) di dekat Termez, ia tiba di Kunduz di Afghanistan. Di sini Xuan Zang bertemu dengan putra tertua dari Khan raja bangsa Turki, kakak ipar dari raja Turfan, di mana Xuan Zang memperoleh surat izin darinya.

Setelah beberapa lama bersinggah, Xuan Zang melanjutkan perjalanan bersama beberapa bhikshu dari Balkh ke kota tersebut yang merupakan bekas ibukota dari kerajaan Bactria, kerajaan Raja Milinda dalam Milinda Panha. Di negeri ini terdapat 1000 vihara dan 3000 orang bhikshu.

Di sini ia mengunjungi Nava Vihara (yang berarti "Vihara Baru", sekarang dikenal sebagai Navbahar) yang terkenal di mana ia mendapatkan kitab Mahavibhasa (penjelasan Abhidharma) dan mempelajari ajaran Theravada di bawah seorang guru bernama Prajnakara.

Setelah memberikan penghormatan pada relik-relik suci di sana, Xuan Zang berangkat dari Balkh melalui jalan yang berbahaya dan sulit menuju pegunungan Hindu Kush dan sampai di Bamiyan.

Di Bamiyan orang-orang meyakini Tri Ratna, tetapi masih memuja ratusan dewa di mana para pedagang memberikan persembahan ketika keberuntungan usahanya memburuk. Di sini terdapat 10 vihara dengan sekitar 1000 bhikshu aliran Lokuttaravadin.

Di sini juga Xuan Zang menyaksikan dua buah patung Buddha raksasa dengan tinggi sekitar 55 dan 35 meter masing-masing, yang diukir di sisi gunung pada abad ke-4 dan ke-5 M. Saat itu Xuan Zang salah mengira patung yang kecil terbuat dari perunggu karena permukaannya yang dilapisi perunggu.

Ia juga melihat sebuah patung Buddha berbaring dan memberikan penghormatan pada beberapa relik gigi Sang Buddha. (Sayangnya kini patung Buddha raksasa peninggalan sejarah tersebut telah dihancurkan pemerintah Taliban pada tahun 2001).

Berjalan ke arah timur, Xuan Zang memasuki celah pegunungan Hindu Kush dan menyeberangi bukit Siah Koh, ia sampai di negeri Kapisa.

Di sini terdapat kurang lebih 100 vihara dengan 6000 bhikshu Mahayana dan sebuah vihara besar dengan 300 bhikshu Theravada. Di sini juga ditemukan 10 kuil dewa dengan sekitar 1000 pertapa Hindu dari berbagai aliran seperti pertapa telanjang (Digambara), pertapa yang menutupi tubuhnya dengan abu (Pasupata), dan pertapa yang memakai manik-manik dari tulang di kepala mereka (Kapaladharina).

Setiap tahun raja akan membuat patung Buddha perak dan memberikan dana kepada orang-orang miskin, papa, dan yang ditinggal sendiri. Setelah menghabiskan musim panas tahun 630 M di Kapisa, Xuan Zang pergi ke Nagarahara (Jalalabad). Di sini ia menemukan banyak vihara tetapi dengan sedikit bhikshu. Stupa-stupa telah rusak dan tinggal reruntuhan.

Ia mengunjungi gua Naga Gopala yang menurut legenda pernah terdapat bayangan Sang Buddha yang ditinggalkan-Nya setelah menaklukkan sang naga. Di vihara yang menyimpan relik tulang kepala, ia menemukan bahwa penjaga di sana adalah para brahmana yang ditunjuk oleh raja dan mereka meminta para peziarah sejumlah uang masuk agar dapat melihat relik tersebut.
MENGUNJUNGI TEMPAT-TEMPAT SUCI BUDDHIS DI INDIA

Berjalan ke arah utara, sang peziarah tiba di Sravasti (Savatthi) dan mengunjungi daerah Maheth di mana ia melihat stupa Sudatta yang menandai tempat tinggal Anathapindika dan di sampingnya terdapat stupa Angulimala.

Di Saheth, ia menemukan vihara Jetavana, tempat Sang Buddha biasanya berdiam di Sravasti, kini tinggal reruntuhan dan ditinggalkan. Dari Sravasti ia menuju Kapilavastu, ibukota kerajaan Sakya kuno; Lumbini, tempat kelahiran Siddhartha Gautama; Ramagama yang telah ditinggalkan selama bertahun-tahun; dan Kusinara, tempat mangkatnya Sang Buddha.

Berjalan ke selatan sekitar 500 li, melalui hutan rimba yang luas, ia tiba di Varanasi (Baranasi atau Benares), kota suci umat Hindu.

Di sana terdapat 30 vihara dengan 3000 bhikshu, tetapi lebih dari 100 kuil dewa dengan 10.000 pertapa ajaran lain, kebanyakan adalah pemuja Siva. Di taman rusa di Sarnath, Xuan Zang mengunjungi sebuah vihara dengan 1500 bhikshu aliran Sammitiya dan menghormati stupa di sana.

Menelusuri aliran sungai Gangga ke timur menuju Ghazipur, kemudian ke arah timur laut, ia tiba di kota Vesali di mana terdapat beberapa ratus vihara yang kebanyakan sudah rusak dengan sangat sedikit bhikshu. Kota tersebut dalam kehancuran dan praktis ditinggalkan.

Xuan Zang juga melihat pilar Asoka dengan singa besar di atas dan di sampingnya, stupa yang didirikan Raja Asoka. Di dekat pilar tersebut terdapat sebuah kolam yang digali oleh sekelompok monyet untuk digunakan oleh Sang Buddha dan jauh ke selatan terdapat stupa yang menandai tempat di mana para monyet, setelah mengambil mangkuk Sang Buddha, memanjat sebuah pohon dan mengumpulkan madu untuk Beliau. Berjalan ke arah barat laut, ia melewati negeri Vajji dan menuju Nepal.

Kemudian kembali ke Vesali dan menyeberangi sungai Gangga, ia tiba di kerajaan Magadha.

Pataliputta (Patna), ibukota kerajaan Magadha selama masa Raja Asoka sedang dalam kemunduran. Di sana terdapat 50 vihara dengan sekitar 10.000 bhikshu, kebanyakan beraliran Mahayana.

Di kota tua tersebut Xuan Zang melihat ratusan vihara, stupa dan kuil dewa tinggal reruntuhan. Xuan Zang juga mengunjungi vihara Kukkutarama yang dibangun oleh Raja Asoka, namun bangunannya telah runtuh dan hanya tinggal fondasi dinding yang tersisa.

Berjalan ke selatan, ia melewati vihara Tiladaka di mana para sarjana dan cendikiawan datang untuk belajar agama Buddha. Di dalam salah satu bangunannya ia melihat patung Tara dan Avalokitesvara didirikan di samping patung Sang Buddha, yang menandakan bagian Tantra dalam agama Buddha.Kemudian ia sampai di sungai Neranjana dan menyeberanginya, sampai di Gaya. Di sini ia mengunjungi Pragbodhi di mana Bodhisattva Gautama menjalankan pertapaan keras selama 6 tahun, desa Sujata, hutan Uruvela, dan Bodhgaya, tempat Bodhisattva mencapai Pencerahan.

Lalu ia berjalan ke Rajagaha di mana ia mengunjungi tempat-tempat suci seperti Puncak Burung Nazar, Hutan Bambu, sumber mata air panas, rumah batu Pippala, dan gua Sattapanni, tempat diadakannya Konsili Buddhis Pertama.

Setelah mengunjungi berbagai tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha, Xuan Zang pun tiba di Nalanda, tujuan utama perjalanannya ke India.Belajar di Universitas Nalanda

Xuan Zang sampai di Nalanda sekitar tahun 635 dan mendaftar di pusat belajar agama Buddha tertua di dunia di sana untuk memenuhi tujuannya datang ke India. Untuk dapat menjadi siswa di sana, seseorang harus menyelesaikan ujian dari penjaga gerbang yang merupakan seorang petugas yang bertanggung jawab atas proses belajar di sana.

Umumnya dari 10 calon siswa, 7 atau 8 orang akan gagal dalam ujian sulit ini. Namun Xuan Zang yang telah memiliki fondasi pengetahuan Buddha Dharma yang kuat dapat lolos ujian masuk dan diterima sebagai siswa Universitas Nalanda.

Universitas Nalanda juga merupakan vihara terbesar di seluruh India. Para siswa terbaik Buddhis berkumpul di sini, beberapa dari mereka berasal dari negeri asing seperti Xuan Zang. Pimpinan Universitas Nalanda saat itu adalah bhikshu kepala Silabhadra yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Beliau telah menguasai semua kitab suci dan teks Buddhis sehingga ia diberi gelar "Zheng Fa Zang".

"Zang" merupakan bahasa Mandarin untuk "Pitaka" atau keranjang bambu yang digunakan untuk menampung kelompok kitab suci agama Buddha yang ditulis di atas daun lontar. Dengan demikian Tripitaka (atau "San Zang" dalam bahasa Mandarin) merupakan nama untuk kumpulan tiga keranjang bambu besar yang memuat seluruh kitab suci agama Buddha.

Seseorang yang menguasai seluruh kitab suci agama Buddha beserta arti setiap kitab tersebut diberi gelar "Zheng Fa Zang". Seseorang yang menguasai sedikitnya 50 kitab Buddhis diberi gelar "San Zang" (Tripitaka). Ini bukan kemampuan yang biasa saja, karena setiap kitab mengandung jutaan kata dan artinya sangat sulit dan mendalam.

Di antara puluhan ribu bhikshu di Universitas Nalanda, hanya sekitar 1000 orang yang telah menguasai 20 kitab dan sekitar 500 yang menguasai 30 kitab. Kemudian hanya 9 orang yang menguasai 50 kitab dan mendapat gelar "San Zang" dan tentu saja hanya Bhikshu Silabhadra seorang yang menguasai semua kitab suci.

Namun demikian, aturan di Universitas Nalanda menyatakan harus terdapat sedikitnya 10 orang "San Zang" di sana. Saat itu Bhikshu Silabhadra sangat berkenan menjadikan Xuan Zang muridnya. Beliau mengajarkan Xuan Zang tentang Yogacarabhumi-sastra yang menghabiskan waktu 17 bulan untuk menjelaskan secara lengkap isi sebuah kitab saja.

Setelah banyak belajar dan kerja keras, Xuan Zang dapat menguasai 50 kitab suci Buddhis dan menjadi "Sang Zang" ke-10. Hal ini berbeda sekali dengan kisah Perjalanan ke Barat di mana Xuan Zang mendapat gelar "San Zang" dengan mudah, yaitu diberikan oleh kaisar Tang.
Selain mempelajari ajaran Buddha di Nalanda, Xuan Zang juga mempelajari filosofi Hindu dan menguasai bahasa Sanskerta.

Pada tahun 638 Xuan Zang menghentikan studinya di Nalanda dan bermaksud untuk pergi ke Sri Lanka guna mempelajari lebih dalam ajaran Theravada.

Ia berjalan ke Champa (Bhagalpur) dan Bengal Barat, tiba di Tamralipti di mana ia bermaksud mengambil jalur laut ke Sri Lanka. Namun di sana ia diberitahu bahwa akan lebih mudah mencapai Sri Lanka melalui India Selatan, maka ia memutuskan untuk mengambil jalur darat ke India Selatan.

Berjalan ke arah tenggara Xuan Zang melewati negeri Orissa yang memiliki beberapa ratus vihara dengan 10.000 bhikshu Mahayana dan Kalinga di mana para pertapa terutama Nigantha lebih dominan.

Kemudian ia melanjutkan perjalanan menuju Kosala, tanah kelahiran Nagarjuna, pendiri ajaran Madhyamika, dan Andhara serta tiba di Amaravati. Di sini terdapat banyak vihara namun ditinggalkan dan telah runtuh.

Ia menyaksikan dua bangunan di atas dua batu karang, satu di timur disebut Purvasaila (Karang Timur) dan yang lain di barat disebut Aparasaila (Karang Barat). Keduanya dulu didiamikan oleh para bhikshu, tetapi saat itu telah ditinggalkan dan ditumbuhi semak liar.

Setelah menghabiskan musim hujan di Amaravati, Xuan Zang melanjutkan perjalanan ke selatan melewati negeri Chola yang digambarkannya sebagai "telah ditinggalkan dan ditumbuhi semak liar, rawa dan hutan belantara, dengan penduduk yang sedikit dan sekelompok penjahat yang berkeliaran dengan bebas."

Kemudian berjalan ke selatan melalui daerah hutan rimba dan berjalan 1.500 li, ia tiba di negeri Dravida.

Di ibukota Kanchipuram (di dekat Madras) terdapat sekitar 100 vihara dengan 10.000 bhikshu Mahayana. Di sini Xuan Zang mengetahui bahwa Sri Lanka sedang mengalami kekacauan dan bencana kelaparan setelah kematian rajanya.
Maka ia melepaskan angan-angan untuk pergi ke pulau tersebut.

Ia kemudian berjalan ke arah utara, memasuki hutan dan melewati banyak desa yang telah ditinggalkan di mana para penjahat berkeliaran mencari korban. Setelah berjalan 2.000 li tanpa menemui bahaya, sang peziarah sampai di Konkanapura (Golconda di dekat Hyderabad) di mana terdapat sekitar 100 vihara dengan 10.000 bhiksu baik Mahayana maupun Theravada.

Dari Konkanapura ia memasuki negeri yang berbahaya yang dihuni oleh hewan buas dan para perampok, dan tiba dengan selamat di negeri Maharashtra di mana ia mengunjungi gua terkenal yang dibentuk dari potongan batu di Ajanta.

Dari Ajanta ia berjalan ke Valabhi sekitar tahun 641 melalui Bharoch, Malava, dan Kachha. Valabhi merupakan ibukota kerajaan Maitraka di Gujarat dan sebuah pusat belajar dan perdagangan. Menurut Xuan Zang:
"Di sini terdapat sekitar seratus keluarga yang memiliki kekayaan seratus lakh (juta). Barang-barang yang langka dan berharga dari daerah-daerah yang jauh disimpan di sini dalam jumlah besar."

Ia mengunjungi sebuah vihara besar di mana dua orang guru Mahayana terkemuka, Sthiramati dan Gunamati pernah tinggal dan menulis kitab ulasan mereka. Berjalan ke arah barat, ia melewati Surashtra dan Gurjjara sebelum tiba di Ujjain (Ujjeni), ibukota Avanti.

Di sini terdapat banyak vihara, tetapi kebanyakan hancur dan hanya terdapat 300 bhikshu tersisa. Berjalan ke barat, ia melintasi Sindhus di mana ia menyaksikan beberapa ratus vihara yang didiami oleh beberapa puluh ribu bhikshu aliran Sammatiya.

Kemudian berjalan ke utara dan menyeberangi sungai Indus, ia tiba di Multan. Di sini umat Buddha dan para bhikshu sedikit. Terdapat 10 vihara, semuanya dalam reruntuhan. Pada titik ini Xuan Zang memutuskan untuk kembali ke Nalanda karena ia telah mengunjungi kebanyakan tempat suci Buddhis di India.

Kembali ke Nalanda, Xuan Zang menghabiskan waktunya mempelajari ajaran Mahayana dan ikut serta dalam debat filosofi. Setelah memperoleh pengetahuan agama Buddha yang cukup, ia berpikir untuk kembali ke tanah kelahirannya dan menyebarkan ajaran baru tersebut.

Raja Assam, Kumara-raja, mendengar tentang kemampuan guru Cina tersebut dan mengundang Xuan Zang ke ibukotanya Kamarupa pada tahun 643. Saat Xuan Zang berada di Kamarupa, sang raja mendapat perintah dari raja atasannya, Raja Harsha Vardhana, untuk membawa sang bhikshu untuk menemuinya di Kajinghara, sebuah negeri kecil di tepi sungai Gangga. Saat pertemuan tersebut, keduanya menjalin hubungan yang dekat.

Harsha Vardhana mengundang Xuan Zang ke ibukotanya Kanauj di mana raja mengadakan pertemuan agama di tepi sungai Gangga, dihadiri oleh raja-raja dari 20 negeri bawahan, bersama-sama dengan para bhikshu dan brahmana. Xuan Zang ditunjuk sebagai "Ketua Diskusi".

Selama tiga minggu berikutnya, Harsha memberikan dana makanan kepada para bhkshu dan brahmana setiap hari. Setelah itu, ia akan membawa patung Buddha sebesar badan manusia di atas bahunya ke atas sebuah menara di mana ia memberikan penghormatan kepada Sang Triratna dengan pemberian pakaian sutra yang dihiasi dengan batu-batu berharga.

Pada hari terakhir, para pengikut ajaran lain berusaha menyabotase pertemuan dengan membakar menara tersebut dan berusaha membunuh raja dalam kekacauan yang ditimbulkan. Namun upaya pembunuhan berhasil digagalkan ketika si pelaku tertangkap oleh raja sendiri.

Ia mengakui bahwa ia disewa oleh para pengikut ajaran lain dan brahmana yang iri atas penghormatan yang ditujukan raja kepada para bhikshu Buddhis. Oleh sebab itu, raja menghukum dalang di balik upaya pembunuhan ini dan mengusir para brahmana ke luar perbatasan India.

Setelah itu, raja membawa tamunya ke Prayag di mana ia mengadakan perayaan lima tahunan dengan memdanakan seluruh kekayaannya yang terkumpul selama lima tahun, mengikuti teladan dari Raja Asoka.
KEMBALI KE TANAH KELAHIRAN

Setelah menyaksikan perayaan di Prayag, Xuan Zang tinggal selama 10 hari lagi bersama Harsha dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Cina. Untuk memastikan keamanan dan keselamatan Xuan Zang di perbatasan, Harsha memberinya pengawalan pasukan yang dikepalai oleh Kumara-raja.

Ia kembali ke Cina melalui arah yang berlawanan dengan arah kedatangannya ke India, yaitu melalui Jalandhar, Takkasila, dan Nagarahara. Kemudian melewati Hindu Kush, ia memasuki Afghanistan utara.

Berjalan ke arah barat laut, ia sampai di Badakshan dan menelusuri pegunungan dan lembah Pamirs, melewati beberapa kota di Tajikistan.

Setelah melewati barisan Sarykol yang membentuk perbatasan antara Cina dan Tajikistan, Xuan Zang sampai di Kashgar di provinsi Xinjiang. Dari Kashgar ia berjalan ke Yarkand dan Khotan. Tiba di Khotan 16 tahun setelah pertama kali ia berangkat, rombongan Xuan Zang tinggal tujuh orang saja.

Perjalanan Xuan Zang ke India untuk mendapatkan kitab suci agama Buddha dan belajar Buddha Dharma dari orang-orang bijaksana di sana sungguh mengagumkan, mengingat ia melakukan perjalanan jauh tersebut hanya dengan berkuda atau jalan kaki.

Selama perjalanannya Xuan Zang telah mengunjungi lebih dari 130 negeri/kerajaan yang kebanyakan adalah negeri-negeri kecil yang belum dipersatukan.

Di Xinjiang, Xuan Zang menulis sebuah surat kepada Kaisar Tang yang menggambarkan detail perjalanannya dan memohon izin untuk kembali ke tanah kelahirannya. Pada musim gugur ketika dedaunan berubah menjadi merah, surat tersebut sampai di ibukota Chang An, hanya untuk dikirim kembali ke Luo Yang di mana kaisar sedang mempersiapkan diri untuk menyerang Liao Dong. Kaisar sangat terkesan dengan kisah perjalanan Xuan Zang.

Terlebih lagi, pada waktu itu kaisar membutuhkan informasi tentang negeri-negeri di sebelah barat Cina. Seperti yang kita ketahui, bangsa Gokturks terus-menerus menyerang perbatasan barat, memaksa pemerintah menutup jalan ke barat sehingga menyebabkan hubungan dengan negeri-negeri di barat terputus. Kejayaan Jalan Sutra dan pengaruh besar Cina yang dulu pernah sampai ke negeri-negeri barat kini tinggal sejarah.

Kaisar mengetahui bahwa pengetahuannya tentang negeri-negeri di sebelah barat sekarang tidak cukup. Kembalinya Xuan Zang dari barat merupakan kesempatan emas bagi kaisar untuk meningkatkan pemahamannya atas negeri-negeri tetangga. Demikianlah, kaisar sendiri yang menulis surat balasan kepada Xuan Zang, yang menyambut kepulangannya ke Chang An.

Setelah mendapat surat balasan dari Kaisar Tang, ia meninggalkan Khotan dan melewati gurun Takla Makan, ia tiba di Dunhuang. Setelah berdiam beberapa lama di Dunhuang, ia kembali ke Chang An (Xian) pada tahun 645 di mana ia mendapat sambutan dan penghormatan besar dari para pejabat dan para bhikshu.

Beberapa hari kemudian kaisar mengundang Xuan Zang ke istana di mana Xuan Zang dengan tenang dapat menjawab semua pertanyaan tentang perjalanan dan pengalamannya. Sangat terkesan dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Xuan Zang, kaisar memintanya menjadi seorang pejabat kerajaan. Tentu saja ini ditolak Xuan Zang karena ia ingin memfokuskan diri menerjemahkan kitab-kitab suci yang ia bawa pulang dan menyebarkan ajaran Buddha di Cina.

     
SEJARAH SUN GO KONG/KERA SAKTI DAN TONG SAM CHONG

Sejarah Novel Kisah perjalanan ke barat.
Di Tiongkok ada sebuah novel kuno yang diketahui secara luas yakni "His-yu-chi" (Catatan Perjalanan ke Barat), selama beberapa abad, kisah hidup yang telah tersiar lama ini tetap abadi. Adalah Wu Ch'eng-en (th. 1500 - 1582), seorang penulis novel dan puisi terkenal pada Dinasti Ming (1368-1644) kelahiran Shan-yang, Huai-an (sekarang Provinsi Kiangsu, Tiongkok) yang menuliskan suatu kisah berdasarkan cerita perjalanan Hsuan-tsang dari bukunya Ta-T'ang Hsi-yu-chi. Kisah cerita ini kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go Kong atau Sun Hou-zi). Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1592, 10 tahun setelah kematian Wu Ch'eng-en.

Cerita legenda "Catatan Perjalanan ke Barat" tersebut terdiri dari 100 bab yang dapat dibagi atas tiga bagian utama. Bagian pertama dari tujuh bab menceritakan kelahiran Sun Go Kong dari sebutir telur batu dan memiliki kekuatan mahasakti yang tiada tandingannya sehingga mengacaukan kayangan yang kemudian diturunkan dari kayangan dan dikurung oleh Buddha Sakyamuni di dalam Wu-hsing-shan (Gunung Lima Unsur Alam) sambil menunggu pembebasannya oleh seorang biksu yang akan melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci. Bagian kedua berisi lima bab yang berkaitan dengan sejarah Hsuan-tsang dan tugas utamanya dalam melakukan perjalanan ke Barat. Sedangkan bagian ketiga yang berisi 88 bab sisanya menceritakan keseluruhan perjalanan Hsuan-tsang dengan ketiga muridnya yaitu Sun Go Kong, Chu Pa-chieh, dan Sha Ho-shang

Kisah Perjalanan ke Barat yang populer dengan legenda kera saktinya itu adalah merupakan suatu karya legenda China yang luar biasa dalam menggambarkan ajaran Buddha darma yang sulit dimengerti oleh rakyat di Tiongkok waktu itu. Legenda ini merupakan gambaran kisah perjalanan Hsuan-tsang dengan berbagai kesulitan dari seorang manusia yang selalu diliputi oleh berbagai keinginan dan keserakahan (diwakili oleh Chu Pa-chieh), kebodohan batin yang merupakan refleksi karakter manusia yang lemah dan selalu membutuhkan dorongan semangat (diwakili oleh Sha Ho-shang), kesombongan, keegoisan dan pikiran yang liar (diwakili oleh Sun Go Kong). Dia adalah kera nakal yang tak pernah diam. Selalu bergerak ke sana dan ke sini dengan begitu cepatnya. Kalau sudah tidak bisa dikendalikan oleh biksu Tong (Hsuan-tsang), maka akan diperingati terlebih dahulu, tapi kalau masih nakal maka akan dibacakan mantra pemberian Avalokitesvara Bodhisattva.

Sedangkan biksu Tong sendiri menggambarkan suatu kesadaran bahwa setiap tindakan akan ada akibatnya. Tidak kalah pentingnya adalah jubah yang dikenakan oleh biksu Tong, merupakan suatu simbol perlindungan kesucian dari sifat dasar manusia. Jubah ini dikisahkan banyak memberikan perlindungan kepada biksu itu dari segala gangguan siluman yang mencoba membinasakannya ataupun menggodanya. Sedangkan Pai-Ma (kuda putih) hanyalah merupakan pelengkap cerita saja dan tidak mewakili apa-apa.
Di dalam cerita perjalanan menuju ke Barat untuk mencari kitab Buddha di bawah lindungan oleh para dewa di langit ini, tidak sulit ditemukan bahwa masalah langit dan bumi mempunyai urutannya. Dewa pada tingkat yang tinggi mengurus Dewa tingkatan rendah dan Dewa tingkatan rendah mengurus dunia manusia. Siapa yang telah merusak urutan ini, akan menerima hukumannya. Sun Go Kong menganggap dirinya paling hebat, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai dewa tertinggi, kemudian membuat keributan di istana langit. Prajurit dari langit juga tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Namun di hadapan Buddha, kecilnya bagaikan sebutir kelereng yang tinggal disentil dan meskipun mengeluarkan seluruh kemampuannya juga tidak akan bisa melepaskan diri dari telapak tangan Buddha. Setelah dibebaskan oleh biksu Tong, ia mengikuti perjalanan ke Barat mencari kitab suci sekaligus menebus karmanya.

Demikianlah karya sastra kuno yang berasal dari kehidupan pada zaman dahulu, memiliki makna nilai yang lebih dalam kehidupan, dan semua ini merupakan pengetahuan bersama secara umum. Dan yang membuat orang merasa takjub adalah bahwa pada zaman yang belum maju di masa itu, malah terdapat penuturan tentang "sehari di langit, setahun di bumi" dalam catatannya. Semua ini mungkin merupakan catatan karangan yang paling dini tentang pengetahuan manusia terhadap ruang dimensi lain alam semesta.

Dikarenakan ingatan manusia terbatas dan singkatnya kehidupan, maka demi untuk diketahui oleh anak cucu mengenai hal-hal orang dulu, lalu dituangkan dalam buku catatan. Orang-orang pada umumnya melihatnya sebagai sesuatu yang nyata pada catatan sejarah, namun menganggap bahwa ceritanya telah mengalami proses rekaan. Pada kenyataannya memang demikian adanya. Sebetulnya dalam catatan sejarah juga belum tentu mencatat masa lampau dengan yang sebenarnya, apalagi pada masa masa sekarang ini. Manusia dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, telah berubah semakin rumit, kesadaran dan pemikirannya sesudah lahir bagaikan kotoran lama yang semakin ditumpuk semakin tebal, membentuk zat-zat hitam yang semakin lama semakin keras. Naluri dan watak pembawaan manusia yang polos dan baik, telah dibelenggu. Dan merupakan sesuatu yang logis dan masuk akal jika orang dengan berdasarkan keinginan, tekad dan tujuannya telah membuat roman sejarah.

Akhirnya lama kelamaan, tidak ada lagi orang yang percaya dengan hal-hal dahulu. Banyak sekali hal-hal di dunia manusia yang kelihatannya bukan berdasarkan keinginan orang, manusia hanya bisa mengkhayal, namun tidak bisa mewujudkan agar segalanya tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Orang-orang sering kali mengungkapkan sebuah kalimat: "Segala sesuatu bisa dilakukan manusia, namun berhasil atau tidaknya tergantung di Atas (Tu
Legenda dan sejarah Sun Go Kong

IDENTITAS SUN GO KONG

Sun Go kong Memiliki Kekuatan Luar biasa, Bisa mengakut sebuah benda seberat 6750 Kg (13.500 jīn). Memiliki kecepatan tinggi jika terbang, dapat menjelajah 108,000 li (54,000 kilometers)dalam satu lompatan. dan mengetahui 72 Perubahan menjadi Benda, Hewan, Dan sebagainya. Bulunya memiliki kekuatan magis yang luar biasa, Ia juga dapat memerintah angin.

SEGI CERITA

Sun Go Kong/Kera Sakti adalah salah satu tokoh utama dalam salah satu novel klasik Tiongkok "Shi You Ji" "Perjalanan Ke Barat" karya Wu Cheng-en pada masa Dinasti Ming yang kemudian populer selama berabad2 lamanya baik di dalam maupun di luar Tiongkok. Dalam novelnya itu, Wu terlihat lebih menekankan tokoh Sun Go Kong daripada tokoh sejarah asli Pendeta Xuan Zang (Tang San-zhang/Tong Sam Cong) dapat dilihat dari penokohan Pendeta Tong sebagai seorang yang baik hati namun lemah. Padahal dalam sejarahnya, Pendeta Tong mengadakan ekspedisi sendirian yang dapat membuktikan ketegarannya. Walaupun di tengah jalan ia bertemu dengan seorang teman bernama Shih Pan Tuo, namun ia kemudian melarikan diri ketika mereka menemui kesulitan. Kesulitan yang dimaksud adalah perampokan oleh bandit2 di tengah jalan. Saya di suatu kesempatan menyimak tayangan tentang Pendeta Tong di channel Discovery. Oleh Discovery, Pendeta Tong difilmkan sedang dikejar2 oleh para bandit berparas Turkistan (Asia Tengah) sebelum akhirnya sampai ke India dalam satu penggal cerita.

Riwayat Sun Go Kong secara sekilas adalah tinggi badan 1.33 meter, pada umur 320 tahun ia menuju Gunung Hua Guo, menjadi dewa dengan gelar "Qi Tian Da Sheng" pada umur 357 tahun. 180 tahun kemudian, karena suka membangkang, ia dihukum ditimpa di bawah Gunung Wu Sing selama 500 tahun. Setelah itu, ia berguru kepada Pendeta Tong dan menjalankan perintah untuk mengawal Pendeta Tong mengambil kitab suci ke India. Ia dikisahkan adalah perwujudan dari sebuah kera batu.

Dalam perkembangannya, karena Sun Go Kong terkenal akan kesaktiannya, muncul opini bahwa Wu mengambil tokoh Sun Go Kong muncul dari inspirasinya atas cerita Ramayana dari India yang mana juga ada mengisahkan tokoh kera sakti Hanoman. Di dalam kalangan sastrawan Tiongkok sendiri juga terdapat pendapat yang mendukung opini ini, namun mayoritas menolak teori ini. Juga ada yang berpendapat bahwa Wu mendapat inspirasi dari Hanoman, namun Sun Go Kong kemudian digambarkan tanpa ada kaitan sama sekali denan Hanoman India.

Lu Xun (1881~1936) adalah Bapak Sastra Modern Tiongkok yang terkenal. Ia berpendapat bahwa Sun Go Kong adalah karya Wu yang mengambil inspirasi dari cerita karya Lee Gong-zuo yang hidup di zaman Dinasti Tang. Dalam novelnya berjudul "Gu Yue Du Jing", ia menceritakan tentang siluman sakti bergelar Huai Wo Shuei Shen yang akhirnya juga berhasil ditaklukkan oleh kekuatan Buddha. Setelahnya ia berganti nama menjadi Wu Zi Qi. Lu Xun berpendapat bahwa Wu Cheng-en mengambil tokoh Sun Go Kong atas modifikasi Wu Zi Qi. Lalu, sastrawan lain juga berpendapat bahwa tokoh Sun Go Kong adalah asli Tiongkok karena ada seorang pendeta yang juga terkenal di masa Dinasti Tang bergelar Wu Kong (Go Kong = Hokkian), nama asli Che Chao-feng.

Namun Hu Shi, sastrawan lain berpendapat bahwa Wu mengambil inspirasi dari Hanoman yang dikisahkan dalam cerita Ramayana. Karena ia berspekulasi bahwa tidak mungkin cerita Ramayana yang terkenal itu tidak sampai di Tiongkok. Jadi pasti ada pengaruh Hanoman pada karya Wu Cheng-en tadi. Ada pula sastrawan lain Ji Xian-lin yang berpendapat bahwa Sun Go Kong adalah Hanoman yang dimodifikasi menjadi Sun Go Kong tanpa ada kaitan sama sekali dengan Hanoman-nya sendiri kecuali sama2 merupakan kera sakti. Namun kera sakti Sun Go Kong jelas adalah perpaduan antara kepercayaan, cerita rakyat dan kreasi daripada penulisnya sendiri, Wu Cheng-en.Segi sejarah dan legenda

Sun Go Kong, adalah tokoh mitologi. Jadi tidak ada seorang tokoh Sun Go Kong benar2 hidup di dunia.

Pendeta Tong pergi mengambil kitab suci ke India sendirian. Ia pernah didampingi seorang lainnya, namun karena dihadang oleh sekelompok perampok, orang itu kemudian tidak berani menemaninya sampai ke India. Mengenai perampok ini, Discovery pernah mengilustrasikan dalam klip video seorang Pendeta Tong berlari2 dikejar sekelompok penjahat di perjalanan.

Sun Go Kong muncul cuma dalam novel Perjalanan Ke Barat yang ditulis oleh Wu Cheng-en di zaman Ming. Darimana pula Wu Cheng-en mendapat ilham tentang Sun Go Kong? Ada 2 versi tentang ini, ada sastrawan yang yakin bahwa Sun Go Kong diadopsi dari karakter Hanoman. Ada pula yang meyakini Sun Go Kong adalah diilhami oleh karakter Wu Zi Qi yang juga tokoh mitologi di zaman Da Yu, Dinasti Xia. Da Yu terkenal akan jasanya menjinakkan banjir di Tiongkok pada tahun 2200 SM. Wu Zi Qi ini berwujud seperti kera. Inilah yang dianggap orang2 menjadi ilham Wu Cheng-en untuk menciptakan karakter Sun Go Kong yang berwujud kera itu.

Jadi, Sun Go Kong adalah tokoh fiksi. Dan dewa semacam ini digolongkan dalam dewa-dewi yang berasal dari tokoh mitologi.

Sejarah Tong San Cong / Xuan Chang

Tong Sam Cong pernah hidup di zaman Dinasti Tang (diperkirakan pada tahun 602 AD - 664 AD pada jaman dinasti Tang.
Tong Sam Cong dikenal sebagai Ta¡ng-sanza ng , yang memiliki arti Tang menunjukan identitas dirinya berasal dari negeri tang,
sanza ng  artinya 3 Ajaran Tripitaka.
Lahir di provinsi Henan Nama Aslinya adalah Chen Hui sebelum menjadi biksu, Anak ke 4 dari 4 bersaudara. Pada Tahun 611 AD ia bergabung dalam lingkungan Sangha, ia mempelajari aliran Theravada Mahayana. Pada Tahun 618 AD Pada saat Dinasti Sui runtuh Ia bergabung kedalam lingkungan Pemerintahan Dinasti Tang.
Xuanzang akhirnya melakukan perjalanan ke barat dengan seorang diri pada tahun 622 AD , pada waktu itu masa pemerintahan Kaisar Tang Tai zong.

Ia memang pernah ke India, namun ia sendirian ke sana lewat jalan darat, jalan sutra yang
waktu itu telah mulai sepi karena digantikan oleh jalan sutra laut lewat
Selat Malaka. Pernah ditemani oleh seorang biksu lainnya, namun waktu
bertemu kawanan penjahat sekali waktu (Tong Sam Cong sering bertemu
kawanan penjahat), ia lari meninggalkan Tong Sam Cong sendirian
melanjutkan perjalanan ke India.

Tong Sam Cong bukan hanya seorang biksu, ia juga seorang pengelana yang
tidak kalah mashyurnya dari Marcopolo atau Cheng Ho. Juga seorang
sejarahwan yang tidak kalah pamor daripada Sima Qian. Begitulah kira2
pandangan orang Barat terhadap Tong Sam Cong.
Catatan sejarah harus dibedakan dengan novel fiksi. Catatan sejarah
Pada Tahun 626 AD. Xuan Zhang menyelesaikan bukunya yang berjudul "Catatan Perjalanan ke Barat Zaman Tang Raya" (Ta Tang Xi Yu Ji å), dalam buku ini mengambarkan keindahan jalur sutra, buku ini kemudian di terjemahkan dalam bahasa barat tahun 1857.
Xuan zhang Sendiri berhasil menerjemahkan dan membawa 657 Sanskrit text agama Buddha dari India. Dan menerjemahkan sekitar 1330 darma ke dalam bahasa mandarin.

Ini ditulis oleh biksu terpelajar (tidak banyak biksu yang mengecap
pendidikan di zaman itu) berdasarkan penjabaran lisan dari Tong Sam Cong
sendiri. Catatan ini kemudian dipersembahkan sebagai hadiah kepada
Kaisar Tang Taizong (Li Shimin).

Catatan sejarah ini berisikan 139 negara kecil-kecil yang disinggahi
oleh Tong Sam Cong dalam perjalanannya ke India, merupakan catatan
lengkap menuliskan tentang keadaan politik, geografi, masyarakat masing2
negara. Catatan ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada
tahun 1857, bahasa Inggris pada tahun 1884 dan berbagai bahasa lainnya.
India mengambil catatan ini sebagai acuan akademis mendalami sejarah
kuno di India di zaman Tang.

DARI SEGI NOVEL WU CHENG EN

Dalam Karakter Tong San Chong dalam novel ini ia di temani oleh 3 orang siluman dan sangat lemah, juga incaran bagi siluman lainya untuk memakan dagingnya untuk hidup abadi, dalam novel juga ia melakukan perjalanan ke barat. Dan setiap kali ia dapat masalah dan sering meminta bantuan Dewi Kwan Im atau Dewi Avalokitesvara.
Terutama masalah mengatur tingkah laku Sun Go Kong.


Nah, mengenai Sun Go Kong, Tie Pat Kay dan Sam Cheng, bertiga ini murni
fiksi ciptaan Wu Cheng-en. Ketiganya diciptakan sebenarnya untuk
mengkritik keadaan masyarakat pada zaman Ming, zaman Wu Cheng-en hidup.
Sun Go Kong melambangkan kesombongan, Tie Pat Kay kemalasan, tak dapat
menahan nafsu dan Sha Cheng kebodohan. Ada pula yang berpendapat bahwa
Wu Cheng-en menciptakan 3 karakter itu sebagai lambang gontok-gontokan
persaingan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme di zaman Yuan dan
Ming. Sebagaimana diketahui, orang Mongol (Yuan) memanfaatkan persaingan
antara kelompok2 religius di Tiongkok untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

My Signature

About